Penjelasan Tentang Aturan Hukum Adat di Toraja


Aturan Hukum Adat di Toraja

TONDOK TORAYA - Toraja menjadi salah  satu suku yang ada di Indonesia dan sangat terkenal bahkan di luar negeri.Ada banyak sekali daya tarik dari suku ini seperti budaya, adat dan juga kegiatan-kegiatan yang kerap di adakan.
 
Perlu di ketahui juga dalam masalah peraturan masyarakat Toraja masih menggunakan system adat atau hukum adat meski telah dipengaruhi oleh budaya-budaya modern akibat banyaknya wisatawan dari dalam atau luar negeri yang masuk ke Indonesia.
 
Bisa dikatakan membawa budaya modern mereka secara sedikit demi sedikit sehingga banyak anak muda yang mengikuti budaya tersebut secara perlahan-lahan tanpa mereka sadari.
 
Kebudayaan yang dibawa oleh wisatawan tersebut sebenarnya telah mengancam keberadaan adat dan kebudayaan asli yang ada di Toraja, meski demikian kenyataanya masyarakat Toraja masih bisa mempertahankan dan bahkan masih terpengaruh oleh kebiasaan-kebiasan leluhur mereka baik dalam perkawinan, upacara kematian, pengangkatan anak, pembagian warisa serta penyelesaian masalah.
 
Maka tidak heran banyak orang penasaran ingin mengetahui aturan hukum adatnya, Sebelumnya kita sudah pernah bahas mengenai Tentang Toraja dari asal usulnya serta sejarahnya.
 
Dan masih banyak lagi hal lainnya yang masih di pertahan kan seperti Hukum Adat mereka, terkhusus pada masyarakat yang berada di daerah Tondon Kabupaten Toraja Utara.
 
Hal yang masih dipertahankan di Toraja pula adalah budaya stratifikasi sosail yang sangat menonjol, karena stratifikasi social itulah yang membagi derajat masyarakat Toraja. Stratifikasi social yang berlaku di Tanah Toraja, dikenal dengan Puang (penguasa/tuan), masyarakat biasa, dan Kaunan. 
 
Namun pada persebaran agama masyarakat Toraja yang mayoritas agamm Kristen atau agama Nasrani, pembagian stratifikasi itu dilarang atau kata lainnya tidak mengenal perbedaan kasta. 
 
Akan tetapi dalam praktiknya, masyarakat Tanah Toraja tetap membedakan kasta dalam masyarakat yang dibuktikan dalam penyelenggaraan pertas-pesta besar mereka baik itu pesta kelahiran, kematian dan lain-lain. 
 
Pada masyarakat bangsawan atau Puang (penguasa/tuan) pada saat mengadakan pesta mereka akan mengadakan pesta besar-besaran sesuai dengan stratifikasi yang mereka miliki, mereka akan  menyembeli kerbau atau tedong yang harganya miliaran rupiah dengan jumlah yang banyak. 
 
Pada masyarakat biasa pada saat mengadakan pesta mereka akan mengadakan pesta juga dan menyembeli kerbau atau tedong namun tidak begitu mewah seperti yang dlakukan oleh masyarakat yang berstatus social sebagai puang, mereka akan menyembeli kerbau tersebut sesuai dengan kemampuan mereka sesuai dengan status social yang mereka miliki yang tidak begitu tinggi dan bahkan bisa dibilang sedang. 
 
Sedangkan pada masyarakat yang berstatus sosial sebagai Kaunan atau Budak dari dulu memang telah dilarang untuk mengadakan pesta yang begitu mewah bahkan besar-besaran. 
 
Mereka tidak boleh menyembeli kerbau atau tedong yang harganya miliaran rupiah tersebut seperti yang dilakukan oleh masyarakat yang berstatus social sebagai puang (penguasa atau tuan) dan masyarakat biasa. 
 
Karena masyarakat budak tersebut dianggap hanya sebagai suruhan yang tidak memiliki uang lebih dalam membeli kerbau atau tedong. Masyarakat kaunan ini masih ada dalam satu kelompok kecil yang terdapat disalah satu wilayah Tanah Toraja.
           
Meski adanya status social yang  melekat pada masyarakat Tanah Toraja tersebut namun  masih terdapat hukum adat yang mengatur gerak mereka. Hukum adat di Toraja telah diatur oleh beberapa lembaga yang diyakini oleh masyarakat Tanah Toraja itu sendiri yang dinamakan Kombonan.
 
Kombonan inilah sebagai pilar demokrasi dan sebagai wadah yang mengawal dinamika adat sesuai perubahan kebutuhan masyarakat.
 
Komunitas atau kelembagaan adat Kombongan ini merupakan suatu komunitas yang memiliki pembagian dalam kerjanya atau pembagian dalam kesepakatannya. 
 
Komunitas atau kelembagaan Kombongan  ini memiliki semboyang yaitu “Untesse Batu Mapipang” artinyadapat memecahkan batu  cadasyang mempunyai makna bahwa apapun dan bagaimanapun asal disetujui melalui Kombongan dapat merubah, menghapus atau membuat aturan adat yang baru hasil Kombongan yang disahkan.
 
Prinsip dari Kombongan tersebut sudah membudaya disetiap insan Toraja sehingga dimanapun  mereka berada diseluruh Nusantara yang hidup berkelompok dan bermusyawarah tetap mempertahankan Motto “Kada Rapa dan  Kada Situru” yang artinya Kesepakatan dan persetujuan yang dibagi menjadi:
  • Kombongan Kalua Sang Lepongan Bulan
  • Kombongan Kalua meliputi seluruh Lembang
  • Kombongan Karopi dalam Tiap Karopi
  • Kombongan Saroan dalam Kelompok basis di bawah Karopi
Kombongan kalua sang lepongan bulan (Musyawarah Agung, Kombongan seluruh Tanah Toraja yang merumuskan dan memuyawarahkan aturan-aturan yang menyangkut antar Lembang.
 
Kombongan tersebut sesuai tingkatan dan urgensinya dapat dihadiri oleh seluruh masyarakat Toraja di Toraja atau di luar Toraja. 
 
Oleh karena pertimbangan efesiensi, maka kombongan tersebut dihadiri oleh wakil atau utusan dari masing-masing kelompok jadi berlaku demokrasi perwakilan.

Kombongan kalua sang lembangan, dilakukan setiap tahun atau apabila ada hal atau khusus. Dihadiri oleh seluruh pemuka adat dan masyarakat. 
 
Mekanisme dalam persidangan sangat terbuka dan bebas dimana peserta bebas mengeluarkan pendapat namun pengambilan keputusan oleh tiap Karopi melalui musyawarah dan mufakat.

Seluruh keputusan dalam Karombang dibacakan ulang dan diakhiri dengan acara potong babi dan memakan nasi dari jenis padi berbulu yang berarti apabila ada yang mengingkari hasil kombongan, maka tulang babi akan menyumbat leher dan bulu dari babi akan menusuk sehingga Kombongan tersebut ditingkatkan kekuatannya menjadi Basse atau Sumpah.

Kombongan Karopi, dilaksanakan setiap tahun atau apabila ada hal yang khusus antara lain apa bila terjadi pelanggaran adat. 
 
Kombongan dihadiri oleh seluruh warga dan dilaksanakan dengan demokratis. Dalam Kombongan tersebut tidak melihat tingkatan dan golongan bebas berbicara sehingga kadang-kadang terjadi perdebatan sengit.
 
Disini kecenderungan rakyat meminta pertanggung jawaban dari pemuka adat atau To Parenge atas pelaksanaan adat dalam wilayahnya sehingga pemuka adatlah menjadi ajang pengadilan.
 
Yang dibahas adalah aturan adat yang berlaku, merubah, mencabut aturan-aturan baru yang semuanya berasal dari usulan masyarakat. 
 
Namun apabila tidak mendapat penyelesainnya, maka diajukan ke Kombongan Kalua sebagaimana fungsinya sebagai adat perdamaian dan peradilan adat.

Kombongan Soroan, kombongan yang menyangkut aturan local dalam wilayah kecil atau kelompok keluarga atau organisasi kemasyarakatan antara lain organisasi jemaat gereja, koperasi kelompok atau wilayah sebesar RT. 
 
Membuat dan mengkaji kesepakatan khususnya yang beraitan dengan gotong royong atau menyelesaikan kasus tanah hak milik bersama atas tanah atau hutan.

Aturan Hukum Adat Perkawinan

Di Toraja, Sulawesi Selatan, perkawinan di sebut Rampanan Kapa’. Masyarakat di Toraja memuliakan adat perkawinan kerena menganggapnya sebagai bentuk kebudayaan.
 
Proses pelaksanna Rampanan Kapa’ ini berbeda dengan proses perkawinan di daerah lain, karena yang mengesahkan perkawinan di Tanah Toraja bukan penghulu agama, melainkan pemerintahan adat yang dinamakan Ada’. 
 
Adapun peraturan yang dipegang bersumber dari ajaran Aluk To Dolo (kepercayaan Animisme) yang dinamakan aluk Rampanan Kapa’ tidak seperti upacara Selametan Peristiwa lain misalnya pembangunan rumah, mendoakan panen dan ternak dan kelahiran bayi, perkawinan di Toraja tidak mempersembahkan kurban atau sesajen.

Rampanan Kapa, adalah semata-mata adanya persetujuan yang kemudian disahkan dengan perjanjian. Semua dilakukan dihadapan pemerintah adat dan seluruh keluarga. 
 
Perjanjian tersebut merupakan aturan hukum yang juga memuat sanksi-sanksi bagi kedua belah pihak yang menikah seandainya terjadi pelanggaran.

Setelah melakukan prosesi adat dan di sahkan oleh agama pula kedua mempelai di dudukan di Tongkonan yang dmana tongkonan tersebut terdapat sebuah etalase kaca di atasnya yang berisi tengkorak manusia yang dimana tengkorak tersebut adalah tengkoran para penguasa tongkonan Lombok masa lampau yang diletakkan sebagai sebuah penghormatan.

Tamu-tamu yang memiliki posisi tinggi dipemerintahan atau memiliki kedudukan dalam Dewan Adat dan memiliki unsur kebangsawanan disediakan tempat duduk dialang atau tempat duduk dibawah lumbung, dmana lumbung adalah tempat menyimpan padi bagi masyarakat Torajadan merupakan tempat kehormatan. 
 
Sementara para tamu lainnya dibuatkan pondok dari bamboo yang memanjang dan disesuaikan dengan asal kampong mereka.

Aturan Adat Pengangkatan Anak dan Pembagian Warisan

Pengangkatan anak merupakan suatu perbuatan hukum dalam rangka hukum adat keturunan, bilamana seorang anak diangkat atau didudukan dan diterima dalam suatu posisi, baik secara biologis maupun status sosial, yang semula tidak ada padanya. 
 
Seseorang yang diangkat anak mempunyai hak-hak  dalam rangka hukum waris, yaitu menerima hak-hak dan kewajiban sebagai ahli waris baik materil seperti: sawah, kebun, rumah dan benda-benda lain, maupun immaterial seperti: gelar adat, kedudukan adat dan martabat keturunan.
 
Pengangkatan yang dilakukan oleh Toparengnge’ (pemuka adat)  terhadap anak Kaunan bertujuan untuk memberikan hak sah kepada kaum hamba ini agar tidak diambil oleh orang lain sebagai hambanya. 
 
Selain itu, dengan adanya pengangkatan seperti ini akan membuat anak Kaunan lebih rajin dalam mengabdi kepada Toparengnge’ sebagai tuannya dan sekaligus sebagai orang tua angkatnya serta dapat mengerjakan atau mengelolah sawah, kebun dan menggembalakan ternak dari Toparengnge’. 
 
Adanya perlindungan yang diberikan oleh Toparengnge’ kepada anak kaunan dan keluarganya terhadap masyarakat yang akan menjadikannya sebagai hamba lagi merupakan faktor lain yang menjadi alasan pengangkatan ini.
 
Anak kaunan mendapat warisan yang dibagi yaitu warisan yang dikhususkan atau diistimewakan dan diberikan pada saat pewaris masih dalam  keadaan  hidup. Harta yang diberikan berupa sawah dan tanah untuk tempat membangun  rumah. 
 
Dikatakan khusus atau istimewa karena walaupun  ia telah menerima warisan pada saat orang tua angkatnya masih hidup, anak kaunan juga masih bisa mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya telah meninggal, tentu saja setelah anak ini melakukan pengorbanan berupa pemotongan kerbau atau babi pada saat upacara kematian Toparengnge’ atau orang tua angkatnya. 
 
Bagian warisannya tersebut diberikan atau tidak diberikan tergantung pada kesepakatan anak kandung Toparengnge’.
 
Meski anak Kaunan telah di angkat oleh Toparengenge tetap saja ia tidak boleh melakukan upacara adat seperti yang dilakukan oleh Toparengenge karena mereka tetaplah sebagai keturunan Kaunan atau budak. 
 
Contohnya saja saat melakukan upacara kematian untuk keluarga kandungnya mereka tidak boleh memotong kerbau karena pemotongan kerbau hanya di tujukan kepada keluarga bangsawan saja atau Toparengenge meski mereka telah di angkat menjadi anak angkat. 
 
Meski anak keturunan Kaunan memiliki banyak uang untuk membeli kerbau  tetap saja pemotongan kerbau dilarang untuk mereka karena akan menyalahi aturan adat yang telah berlaku apa bila mereka melakukan itu. 
 
Contoh lain apabila upacara rambu solo anak angkat dari keturunan kaunan ini akan memakai pakaian terkhusus, sarung yang berbeda dari keturunan Toparengenge karena mereka tetaplah keturunan Kaunan. 
 
Anak angkat ini juga hanya bisa duduk di tempat yang lebih rendah dari alang (lumbung) tempat yang di duduki oleh Toparengenge, bisa juga mereka duduk dibelakang alang yang di duduki oleh Toparengenge. 
 
Jenis warna sarung yang di gunakan Toparengenge adalah berwarna putih sedangkan karunan berwarna kuning. 
 
Sebagai anak angkat, anak keturunan Karunan bertugas untuk mengangkat babi ke atas lumbung. Sebagai seorang anak mereka harus mengabdi kepada orangtua mereka meski hanya sebagai orang tua angkat.
 
Seorang anak kaunan yang di angkat bisa saja tidak mendapat warisan dari toparengene karena beberapa factor yang menyebabkannya, yaitu:
  • Kedekatan, walaupun anak kaunan telah diangkat oleng toparengenge akan tetapi tidak memiliki kedekatan dengan keluarga toparengenge maka kemungkinan ia tidak akan mendapatkan apa-apa.
  • Pengabdian, tidak terlepas dari status social anak kaunan sebagai golongan budak, maka anak  tersebut harus mengabdi hanya kepada tuannya dan keluarga tuannya. Apabila ia tidak melakukan hal tersebut atau melakukan pengabdian kepada maka ia tidak akan diberikan warisan apa-apa.
  • Pengorbanan, salah satu factor yang membuat anak kaunan tidak mendapat warisan adalah ketika toparengenge meninggal dan tidak melakukan pengorbanan berupa pemotongan kerbau atau babi kecuali ada persetujuan dari anak kandung toparengenge tersebut baru ia dapat warisan.
Hukum adat yang berlaku di Toraja adalah hukum adat Kombonan yang telah menjadi suatu lembaga yang memiliki rinsip-prinsip bagi masyarakat Toraja. 
 
Dari Hukum Adat Kombonan ini  juga dapat mengarahkan masyarakat Toraja agar menjadi lebih baik lagi dan tidak adanya perpecahan di antara mereka
 
Adat perkawinan di Suku Toraja tidak dilakukan dengan pemotongan atau kurban dan tidak adanya sesajen. Perkawinan di Toraja diatur oleh hukum adat yang di sepakati oleh kedua belah  pihak dan apabila ada yang melanggar akan dikenai sanksi-sanksi yang berlaku. 
 
Kedua mempelai di duduk kan di Tongkonan, para pemuka adat, pegawai pemerintah didudukkan di lumbung dan warga biasa didudukkan di suatu tempat yang khusus.
 
Adat pengangkatan anak yang dilakukan oleh pemuka adat yang bergelar bangsawan itu akan mengangkat anak kaunan sebagai anak angkat yang bertujuan untuk melindungi anak kaunan tersebut dari perbudakan orang lain. Dalam pembagian warisan anak kaunan akan di berikan warisan apabila ia memenuhi syarat yang telah di tentukan. 
 
Meski anak keturunan kauna telah di angkat oleh pemuka adat status sosialnya tetaplah sebagai anak keturunan kaunan yang tidak boleh memakai sarung berwarna putih apabila sedang melakukan  upacara rambu solo dan harus mengenakna  sarung berwarna kuning. Mereka juga tidak boleh memotong kerbau apabila melakukan upacara kematian.
 
Diketahui bahwa diIndonesia beribu kebudayaan yang berbeda begitupula dengan hukum adat yang berlaku di setiap daerah berbeda-beda di harapkan dengan adanya makalah Hukum Adat yang membahas  Toraja ini dapat memberikan manfaat untuk mengetahui hukum adat terkhusus pada daerah Tanah Toraja agar kita dapat mengetahui semua Hukum Adat yang ada di Indonesia.

Dengan segala keaneka ragaman yang ada di harapkan bisa menumbuhkan sikap saling menghargai di antra kit. Maka dari itu di harapkan dari pembaca untuk membaca makalah ini dan memeberikan saran dan kritikan .

Post a Comment for "Penjelasan Tentang Aturan Hukum Adat di Toraja"